Kemacetan adalah masalah yang meradang di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Medan. Selain mengganggu waktu, pekerjaan, dan emosi, penelitian menunjukan bahwa kemacetan juga memberi dampak terhadap kesehatan jantung.
Dampak yang paling disadari dari kemacetan adalah perasaaan tak mampu melakukan apa-apa, amarah, dan kecemasan akan keterlambatan yang memengaruhi stres psikologis. Stres tersebut dapat memicu saraf simpatik yang meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan kadar hormon stres, seperti kortisol, yang menjadi faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner.
Selain tekanan psikologis, orang yang terjebak kemacetan memiliki risiko terpapar polusi lebih lama. Emisi yang dihasilkan mesin kendaraan seperti karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan partikulat halus tentunya mengganggu kesehatan paru-paru dan memicu peradangan sistemik. Peradangan tersebut dapat merusak pembuluh darah dan mempercepat penumpukan plak yang berujung pada serangan jantung.
Kemenkes RI memperingati bahwa paparan partikulat halus yang tinggi berkorelasi langsung dengan peningkatan kejadian hipertensi dan gangguan jantung.
Di sisi lain, secara tidak langsung kemacetan memengaruhi gaya hidup. Seperti efek domino, waktu yang tersita mengganggu pekerjaan, pekerjaan yang belum selesai menyita waktu kegiatan lainnya, seperti istirahat, olahraga, dan pola makan. Gaya hidup tersebut yang memicu hipertensi, tekanan darah tinggi, dan obesitas.
Perlu menjadi perhatian bahwa macet bukan hanya soal transportasi, tapi memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Bila perlu, pakai masker saat di perjalanan atau atur kembali manajemen waktu agar tidak terlambat. Apabila jaraknya dekat gunakan sepeda atau berjalan kaki agar lebih sehat.
Sumber:
Kementerian Kesehatan RI. (2018). InfoDATIN: Polusi Udara dan Dampaknya
Sudoyo, A.W. dkk. (2020). Buku Ajar Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. FKUI.
WHO. (2021). Air Pollution and Cardiovascular Disease.